Minggu, 01 November 2020

Belajar dari Islamofobia Abu Jahal | Pegawai Muslim



Prasangka, diskriminasi, ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan Muslim belakangan mengalami eskalasi yang menanjak, terutama di negara barat. Fenomena Islamofobia grafiknya naik tajam khususnya di Perancis pasca pernyataan Presiden Prancis Immanuel Marcon yang mendiskreditkan Islam dan Charlie Hebdo yang menerbitkan kartun Nabi Muhammad.

Sikap tak beradab ini kontan membuat umat Islam seluruh dunia geram, gerah dan marah. Perbuatan yang sama sekali tak pantas dalam pandangan agama manapun kini tumbuh di Barat bak jamur di musim penghujan.

Islamofobia yang terjadi saat ini, dan pasti terjadi pada masa mendatang seperti telah dijelaskan dalam al Qur’an, puncaknya justru terjadi pada masa Nabi sendiri. Yang menjadi ikon kala itu adalah paman beliau sendiri yang bernama Abdul ‘Uzza bin Abdul Muthalib yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab.

Nama gelar ini diberikan oleh penduduk Makkah karena wajah Abdul ‘Uzza terang bagaikan api. Dalam bahasa Arab, Abu Lahab memiliki arti “lidah api yang menyala-nyala”.

Pada mulanya, Abu Lahab sangat senang kepada Nabi. Saat kelahiran baginda Nabi ia sangat gembira sampai biaya persalinan Siti Aminah ditanggungnya. Lebih dari itu, Abu Lahab sendiri yang mencari dan menggaji pengasuh bayi Muhammad.

Hubungan baik antara Nabi dan Abu Lahab retak parah ketika Nabi mengikrarkan diri bahwa dirinya adalah utusan Allah. Mulai saat itu Abu Lahab menentang secara keras. Bahkan melebihi Abu Jahal. Kebencian Abu Lahab terhadap risalah Rasulullah sangat hebat. Mulai dari intimidasi, penghinaan, bahkan taraf membunuh.

Sepak terjang Abu Lahab ini diabadikan dalam al Qur’an. Allah berfirman:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal”. (QS. al Masad: 1-5).

Menurut beberapa ulama tafsir, seperti termuat dalam kitab Tafsir al Azhar, semua strategi Abu Lahab dalam upayanya mengahalau dakwah Nabi tidak akan berhasil. Semuanya gagal.

Belajar dari Islamofobia Abu Jahal

Namun dalam ayat di atas, walaupun penentangan Abu Lahab begitu hebatnya, tetapi Allah tidak mengajari Nabi untuk mencela Abu Lahab. Kenapa demikian? Sebab ayat di atas tidak dimulai dengan kata “Katakanlah (Qul)”. Maknanya, Allah tidak mengajarkan Nabi Muhammad supaya mendoakan buruk kepada Abu Lahab. Sekalipun yang dihina dan dicaci adalah Rasulullah sendiri.

Penjelasan ini menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi umat Islam untuk tidak mendoakan buruk terhadap penghina Islam. Apakah dengan demikian memberikan peluang dan membiarkan kemungkaran?. Jawabannya, Allah sendiri yang akan membalasnya.

‘Ibrah kedua dari surat al Masad di atas adalah penggunaan kata Abu Lahab (nama gelar), tidak memakai nama asli yakni Abdul ‘Uzza. Menurut para mufassir, salah satunya Syekh al Mutawalli Sya’rawi diksi kata ini sebagai pengingat bahwa akan selalu ada orang-orang yang menolak kebenaran, mencaci, menghina dan provokasi terhadap Islam seperti yang dilakukan Abu Lahab.

‘Ibrah ketiga, seberapun besar dana yang disiapkan untuk kampanye islamofobia tidak akan memberi pengaruh signifikan terhadap eksistensi agama Islam di dunia. Allah telah menjanjikan hal ini. “Tidaklah memberi faedah kepadanya hartanya dan tidak apa yang diusahakannya”. Meski Abu Lahab yang kaya raya menghabiskan seluruh hartanya untuk kampanye islamofobianya, sampai habis semua hartanya ia tidak akan berhasil.

Dan bagi penyebar berita hoax dan fitnah keji terhadap agama Islam, seperti yang dilakukan oleh istri Abu Lahab, pasti akan mengalami nasib serupa dengan Abu Lahab. Redaksi “Yang di lehernya ada tali dari sabut” ditafsiri oleh Ibnu Katsir, istri Abu Lahab kemana-mana menyebar fitnah dan kebencian terhadap Nabi. Usahanya ini juga dijamin akan menuai kegagalan. Kegagalan di dunia dan siksa neraka nantinya.

Dengan demikian, islamofobia yang marak terjadi belakangan ini bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan. Umat Islam harus terus fokus pada aktivitas masing-masing. Seperti bekerja, beribadah, berdoa, belajar ilmu agama, mengajarkan ilmu agama, dan selalu mensemarakkan syi’ar Islam dimanapun berada tanpa mempedulikan hinaan dan cacian yang memang akan selalu ada. Terpenting umat Islam tetap menampilkan citra Islam sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamin. Berakhlak mulia dan budi pekerti luhur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar