Jumat, 08 Oktober 2021

KISAH RATU PARA SUFI MENJAWAB MALAIKAT!!!


            Rabi'ah Al-Adawiyah bernama lengkap Rabi’ah binti Isma'il Al-'Adawiyah. Tokoh sufi wanita yang dijuluki Syahidatul ‘Isyqil Ilahi (wanita yang syahid oleh kerinduan ilahi) ini lahir dan wafat di Basrah, Irak pada abad ke-2 Hijriah. Banyak kisah menakjubkan tentang wanita yang satu ini yang dapat kita jadikan sebagai bahan renungan dan pelajaran hidup. 

    Ulama sufi yang dijuluki sang Ratu Cinta itu lahir dalam kemiskinan yang sangat. Dikisahkan, tak ada kain untuk menyelimuti dirinya, tak ada minyak setetespun untuk pemoles pusarnya. Tak ada lampu untuk menerangi kelahirannya. Beliau adalah putri ke empat, Maka disebutlah Robi’ah.

    Sang ayah sedih memikirkan hal ini. Mau pinjam ataupun minta, sudah menjadi pantangan bagi dirinya. Semuanya digantungkannya pada Allah, Dalam kesedihan ia bermimpi, Bertemu sang Nabi yang menghibur hati:

           "Temuilah Gubernur Basrah dan katakan setiap malam engkau kirimkan Sholawat 100 kali kepadaku, dan setiap malam Jumat 400 kali, kemarin adalah malam Jum’at dan engkau lupa mengerjakannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu, berikanlah kepada orang ini 400 dinar, Yang telah engkau peroleh dengan halal."

            Gubernur pun memberikan apa yang dikehendaki oleh Nabi, Ditambah dengan 2.000 dinar bagi sedekah orang miskin, Cukuplah sudah untuk kebutuhan keluarga Robi'ah.

        Sampai keadaan berbicara lain, bencana kelaparan melanda Basrah. Seorang penjahat menculik Robiah untuk kemudian dijual di pasar budak seharga 6 dirham. Majikan membelinya dan memberikannya tugas-tugas yang berat. Siang hari Robiah bekerja sambil berpuasa, Malam harinya dihabiskan untuk mujahadah dan muajahah dengan Rob-nya.

        Kedekatan beralih menuju keaqroban, Keaqroban membawanya kepada kerinduan dan kerinduan telah mengantarkannya pada cintanya pada Tuhannya.

        "Aku adalah milikNya. Aku hidup di bawah naunganNya. Aku lepaskan segala sesuatu yang telah kuperoleh kepadaNya. Aku telah mengenal-Nya, sebab aku menghayati."

Rabi'ah Dibebaskan

        Satu malam yang dingin, sang majikan merasakan kegelisahan dalam hatinya. Maka iapun berjalan ke belakang rumah, memeriksa sekelilingnya, memeriksa kunci-kunci rumahnya.

          Dan ketika ia sampai di dekat gudang tempat Robi'ah tinggal, Kekagetannya membuat ia sendiri gugup, lampu yang semula dipegangnya kini terlempar entah kemana. Bagaimana tidak, ketika ia melongokkan kepalanya ke dalam ruang tempat Robiah beristirahat, Ia sedang melihat Robiah menjalankan sholat.

        "Dan di atasnya tampak cahaya yang terang benderang. Bukan lampu, sebab cahaya itu tidak bergantung kepada suatu apapun."

   Esok harinya, Robi’ah dipanggil. Majikannya menyampaikan keinginannya. Ia membebaskan Robiah sebagai budak. Kini Robi'ah merdeka. Meski sang majikan berharap Robiah mau untuk tinggal di rumahnya, tapi ia memilih untuk pergi menjauhi masyarakat sekitar.

        Dan ia menemukan sebuah gua di pinggir desa. Tinggallah ia di sana. Suatu hari di musim semi, Robi'ah memasuki tempat tinggalnya, Kemudian ia melongok keluar sebab pelayannya berseru, "Ibu, keluarlah dan saksikanlah, apa yang telah dilakukan oleh sang Pencipta." "Lebih baik engkaulah yang masuk kemari dan saksikanlah sang Pencipta itu sendiri."

        "Aku sedemikian asyik menatap sang Pencipta, sehingga apa peduliku lagi terhadap ciptaan-ciptaan-Nya?" sahut Robiah dari dalam.

Bertemu Pencuri

        Suatu malam sebab terlalu letih, Rabi'ah tertidur. Seorang maling menyelusup masuk ke dalam rumahnya, dan mencuri cadarnya. Tetapi, tak ditemuinya pintu keluar. Cadar diletakkan, pintu keluar terlihat. Cadar dibawa, pintu keluar tak terlihat lagi.

    Terdengarlah suara, "Hai manusia, tiada gunanya engkau mencoba-coba.Sudah bertahun-tahun Robi'ah mengabdi kepada Kami. Setan sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling berani mencoba-coba untuk mengambil cadarnya. Pergilah dari sini. Jika seorang sahabat sedang tertidur, maka sang Sahabat bangun dan berjaga-jaga"

    Ketika seorang sahabat mengantarkan seorang kaya yang ingin memberikan uang emasnya pada Robiah, Robiah berkata: "Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujjah-Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahi orang-orang yang mencintai-Nya? Sejak aku mengenal-Nya, aku telah berpaling dari manusia ciptaan-Nya. Aku tidak tahu apakah kekayaan seseorang itu halal atau tidak, maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya?"

        Di malam-malam hari yang sepi dan sunyi, dalam kerinduannya dengan sang Maha Pencipta, Robiah bergumam sambil bersujud, "Ya Allah, apapun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh Mu. Dan apapun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti, berikanlah kepada sahabat-sahabatMu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku"

        "Ya Allah, semua jerih payahku dan semua hasratku di antara kesenangan-kesenangan dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, adalah berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku, Seperti yang telah kukatakan. Kini berbuatlah seperti yang Engkau kehendaki."

            Seperti yang telah di ketahui Rabi’ah al Adawiyah sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah.

            Sebab menurut Rabi’ah jalan tidak menikah merupakan tindkan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Padahal banyak lelaki yang berupaya untuk mendekatinya, bahkan meminangnya. Di antaranya yaitu Abdul Wahid bin Zayd, seorang yang zuhud dan wara, salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.

            Abdul Wahid pernah mencoba meminang Rabi’ah, tapi lamaran itu ditolaknya. Dengan mengatakan “Wahai lelaki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”, katanya.

            Selanjutnya Rabi’ah al Adawiyah juga dilamar oleh Muhammad bin Sulaiman al Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah.

            Untuk memperistri Rabi’ah, ia sangup memberikan mahar sebesar 100 ribu dinar. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah “Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu engkau berikan kepadaku, atau enkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya beberapa saat”.

        Dalam riwayat lain disebutkan, sahabat Rabi’ah bernama Hasan al Bashri juga berniat untuk menikahi Rabi’ah al Adawiyah.

        Bahkan mendapat dukungan dari ulama sufi lainnya. Sehingga mendesak Rabi’ah untuk menikah dengannya.

      Karena desakan itu akhirnya ia mengajukan sebuah syarat berupa beberapa pertanyaan. Ia kemudian mengatakan kepada Hasan al Bashri “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu”.

        Hasan al Bashri berkata “Bertanyalah dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu”. Lalu ia memulai pertanyaannya yang pertama “Apakah yang akan dikatakan hakim dunia ini saat aku mati, akankah aku mati dalam islam atau murtad?”

        Hasan al Bashri menjawab “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui jawabannya”. Ia melanjutkan pertanyaannya yang kedua “Pada saat aku dalam kubur, mampukah aku menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir?”

            Hasan al Bashri menjawab kembali “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui”. Kemudian pertanyaan yang ketiga “Bagaimanakah aku akan menerima buku catatan amal, di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan al Bashri kembali menjawab “Hanya Allah Yang Maha Tahu”.

            Ini pertanyaan terakhir “Sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan al Bashri lagi-lagi menjawab “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu”.

Sumber:

Cahaya Tarim